Thursday, 4 October 2012

RUANG LINGKUP ILMU POLITIK

A. Pendahuluan Dalam Contemporary Political Science, terbitan UNESCO 1950 ilmu politik dibagi dalam empat bidang (Miriam Budiardjo, 2006): Teori politik Teori politik Sejarah perkembangan ide-ide politik Undang-undang Dasar Pemerintahan Nasional Pemerintahan Daerah dan Lokal Fungsi ekonomi dan sosial dari pemerintah Perbandingan lembaga-lembaga politik Partai-partai politik Golongan-golongan dan asosiasi-asosiasi Partisipasi warganegara dalam pemerintah dan administrasi Pendapat umum Politik internasional Organisasi-organisasi dan administrasi internasional Hukum internasional Lembaga-lembaga politik Partai-partai, golongan-golongan (groups) dan pendapat umum Hubungan internasional B. Pembahasan Teori adalah generalisasi yang abstrak mengenai beberapa fenomena. Dalam menyusun generalisasi itu teori selalu memakai konsep-konsep. Konsep itu lahir dalam pikiran (mind) manusia dan karena itu bersifat abstrak, sekalipun fakta-fakta dapat dipakai sebagai batu loncatan. Teori politik adalah bahasan sistematis dan generalisasi-generalisasi dari politik. Teori politik bersifat spekulatif (merenung-renung) sejauh dia menyangkut norma-norma untuk kegiatan politik. Tetapi teori politik juga dapat bersifat deskriptif (menggambarkan) atau komparatif (membandingkan) atau berdasarkan logika. Dengan kata lain, teori politik adalah bahasan dan renungan atas: tujuan dari kegiatan politik cara-cara mencapai tujuan itu kemungkinan-kemungkinan dan kebutuhan-kebutuhan yang ditimbulkan oleh situasi politik yang tertentu dan kewajiban-kewajiban (obligations) yang diakibatkan oleh tujuan politik itu. Konsep-konsep yang dibahas dalam teori politik mencakup antara lain, masyarakat, kelas sosial, negara, kekuasaan, kedaulatan, hak dan kewajiban, kemerdekaan, lembaga-lembaga negara, perubahan sosial, pembangunan politik, modernisasi dan sebagainya. Menurut Thomas P. Jenkin dalam The Study of Political Theory dibedakan dua macam teori politik. Sekalipun perbedaan antara kedua kelompok teori tidak bersifat mutlak. Teori-teori yang mempunyai dasar moril dan yang menentukan norma-norma politik (norm for political behavior). Karena adanya unsur norma-norma dan nilai (value) maka teori-teori ini boleh dinamakan valuational (mengandung nilai). Yang termasuk golongan ini antara lain filsafat politik, teori politik sistematis, ideologi dan sebagainya. Teori-teori yang menggambarkan dan membahas fenomena dan fakta-fakta politik dengan tidak mempersoalkan norma-norma atau nilai. Teori-teori ini dapat dinamakan non-valuational. Ia bisasanya bersifat deskriptif (menggambarkan) dan komparatif (membandingkan). Ia berusaha untuk membahas fakta-fakta kehidupan politik sedemikian rupa sehingga dapat disistematisir dan disimpulkan dalam generalisasi-generalisasi. Teori-teori politik yang mempunyai dasar moril (kelompok A) fungsinya terutama menentukan pedoman dan patokan yang bersifat moral dan yang sesuai dengan norma-norma moral. Semua fenomena politik ditafsirkan dalam rangka tujuan dan pedoman moral ini. Dianggap bahwa dalam kehidupan politik yang sehat diperlukan pedoman dan patokan ini. Teori-teori semacam ini mencoba mengatur hubungan-hubungan antara anggota masyarakat sedemikian rupa sehingga di satu pihak memberi kepuasan perorangan, di pihak lain dapat membimbingnya menuju ke suatu struktur masyarakat politik yang stabil dan dinamis. Untuk keperluan itu teori-teori politik semacam ini memperjuangkan suatu tujuan yang bersifat moral dan atas dasar itu menetapkan suatu kode etik atau tata cara yang harus dijadikan pegangan dalam kehidupan politik. Fungsi utama dari teori-teori politik ini ialah memdidik warga masyarakat mengenai norma-norma dan nilai-nilai itu. Teori-teori kelompok A dapat dibagi dalam tiga golongan: Filsafat politik (Political Philosophy). Filsafat politik mencari penjelasan yang berdasarkan ratio. Ia melihat jelas adanya hubungan antara sifat dan hakekat dari alam semesta (universe) dengan sifat dan hakekat dari kehidupan politik di dunia fana ini. Pokok pikiran dari filsafat politik ialah bahwa persoalan-persoalan yang menyangkut alam semesta seperti metafisika dan epistemology harus dipecahkan dulu sebelum persoalan-persoalan politik yang kita alami seahri-hari dapat ditanggulangi. Misalnya menurut filsuf Yunani Plato, keadilan merupakan hakikat dari alam semesta yang sekaligus merupakan pedoman untuk mencapai “kehidupan yang baik” (good life) yang dicita-citakan olehnya. Contoh lain adalah beberapa karya John Locke. Filsafat politik erat hubungannya dengan etika dan filsafat sosial. Teori politik sistematis (Systematic Political Theory) Teori-teori politik ini tidak memajukan suatu pandangan tersendiri mengenai metafisika dan epistemology, tetapi berdasarkan diri atas pandangan-pandangan yang sudah lazim diterima pada masa itu. Jadi, ia tidak menjelaskan asal-usul atau cara lahirnya norma-norma, tetapi hanya mencoba untuk merealisasikan norma-norma dalam suatu program politik. Teori-teori semacam ini merupakan suatu langkah lanjutan dari filsafat politik dalam arti bahwa ia langsung menetrapkan norma-norma dalam kegiatan politik. Misalnya, dalam abad ke 19 teori-teori politik banyak membahas mengenai hak-hak individu yang diperjuangkan terhadap kekuasaan negara dan mengenai sistem hukum dan sistem politik yang sesuai dalam pandangan itu. Bahasan-bahasan ini didasarkan atas pandangan yang sudah lazim pada masa itu mengenai adanya hukum alam (natual law), tetapi tidak lagi mempersoalkan hukum alam itu sendiri. Ideologi politik (Political Ideology) Ideologi politik adalah himpunan nilai-nilai, ide, norma-norma, kepercayaan dan keyakinan, suatu “Weltanschauung”, yang dimiliki seorang atau sekelompok orang, atas dasar mana dia menentukan sikapnya terhadap kejadian dan problema politik yang dihadapinya dan yang menentukan tingkah laku politiknya. Nilai-nilai dan ide-ide ini merupakan sistem yang berpautan. Dasar dari ideologi politik adalah keyakinan akan adanya suatu pola tata tertib sosial politik yang ideal. Ideologi politik mencakup pembahasan dan diagnose, serta sarana-sarana (prescription) mengenai bagaimana mencapai tujuan ideal itu. Ideologi –berbeda dengan filsafat yang sifatnya merenung-renung- mempunyai tujuan untuk menggerakkan kegiatan dan aksi (action oriented). Ideologi yang berkembang luas mau tidak mau dipengaruhi oleh kejadian-kejadian dan pengalaman-pengalaman dalam masyarakat dimana dia berada, dan sering harus mengadakan kompromi dan perubahan-perubahan yang cukup luas. Contoh dari beberapa ideologi atau doktrin politik misalnya demokrasi Marxisme-Leninisme, Liberalisme, Facisme dan sebagainya, di antara mana Marxisme-Leninisme merupakan ideologi yang sifat doktriner dan sifat militannya lebih menonjol. Ide-ide politik sering juga dibahas menurut sejarah perkembangannya, oleh karena setiap ide politik selalu erat hubungannya dengan pikiran-pikiran dalam masa ide itu lahir. Ide politik itu tak dapat melepaskan diri dari nilai-nilai, norma-norma dan prasangka dari masanya sendiri dan karena itu karya-karya dari filsuf-filsuf serta ahli-ahli politik hendaknya dibahas dengan menyelami sejarahnya. Kupasan berdasarkan sejarah ini di negara-negara Barat biasanya mulai zaman Yunani Kuno dalam abad ke-6 SM sampai abad ke-20 ini. Bidang kedua dari ilmu politik yaitu lembaga-lembaga politik seperti misalnya pemerintah mencakup aparatur politik teknis untuk mencapai tujuan-tujuan sosial. Hubungan antara lapangan pertama dan lapangan kedua sangat erat, sebab tujuan-tujuan sosial dan politik biasanya ditentukan dalam filsafat dan doktrin politik. Dalam kehidupan sehari-hari kita telah terbiasa untuk menterjemahkan kata Inggris “constitution” dengan kata Indonesia “Undang-undang Dasar”. Kesukaran dengan pemakaian istilah undang-undang dasar adalah bahwa kita langsung membayangkan suatu naskah tertulis. Padahal istilah constitusion bagi sarjana ilmu politik merupakan sesuatu yang lebih luas, yaitu keseluruhan dari praturan-peraturan –baik yang tertulis, maupu yang tidak – yang mengatur secara mengikat cara-cara bagaimana suatu pemerintah diselenggarakan dalam suatu masyarakat. Terjemahan kata constitution dengan kata undang-undang dasar memang sesuai dengan kebiasan orang Belanda dan Jerman, yang dalam percakapan sehari-hari memakai kata Grondwet (Grond = dasar; wet = undang-undang) dan Grundgesetz (Grund = dasar; gesetz = undang-undang), yang dua-duanya menunjuk pada naskah tertulis. Dan memang tidak dapat disangkal bahwa dewasa ini hampir semua negara (kecuali Inggris) memiliki naskah tertulis sebagai undang-undang dasarnya. Akan tetapi perlu dicatat bahwa dalam kepustakaan Belanda (misalnya L.J. van Apeldoorn) diadakan perbedaan antara pengertian undang-undang dasar (grondwet) dan konstitusi (constutie). Menurut faham tersebut undang-undang dasar adalah bagian tertulis dari suatu konstitusi, sedangkan konstitusi memuat baik peraturan tertulis maupun peraturan yang tidak tertulis. Dan rupa-rupanya para Penyusun Undang-Undang Dasar 1945 menganut pikiran yang sama, sebab dalam Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 dikatakan: “Undang-undang dasar suatu negara ialah hanya sebagian dari hukum dasarnya negara itu. Undang-undang Dasar ialah Hukum Dasar yang tertulis, sedangkan di sampingnya Undang-Undang Dasar itu berlaku juga Hukum Dasar yang tidak tertulis, ialah aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan negara, meskipun tidak tertulis”. Menurut sarjana hukum E.C.S. Wade dalam buku Constitutional Law, undang-undang dasar adalah “naskah yang memaparkan rangka dan tugas-tugas pokok dari badan-badan pemerintah suatu negara dan menentukan pokok-pokok cara kerja badan-badan tersebut”. Jadi, pada pokoknya dasar dari setiap pemerintahan diatur dalam suatu undang-undang dasar. Bagi mereka yang memandang negara dari sudut kekuasaan dan menganggapnya sebagai organisasi kekuasan, maka undang-undang dasar dapat dipandang sebagai lembaga atau kumpulan asas yang menetapkan bagaimana kekuasaan dibagi antara beberapa lembaga kenegaraan, misalnya antara badan legislatif, badan eksekutif dan badan yudikatif. Undang-undang dasar menentukan cara-cara bagaimana pusat-pusat kekuasaan ini bekerjasama dan menyesuaikan diri satu sama lain; undang-undang dasar merekam hubungan-hubungan kekuasaan dalam suatu negara. Sesuai dengan pandangan ini Herman Finner dalam bukunya Theory and Practice of Modern Goverment menamakan undang-undang dasar sebagai “riwayat hidup sesuatu hubungan kekuasaan” (the aoutobiography of a power relationship)” Pandangan ini merupakan pandangan yang luas dan yang paling tua dalam perkembangan pemikiran politik. Dapat dicatat bahwa dalam abad ke 5 SM seorang filsuf Yunani bernama Aristoteles yang di dunia Barat dipandang sebagai sarjana ilmu politik yang pertama telah berhasil untuk melukiskan undang-undang dasar dari 186 negara kota Yunani dengan jalan mencatat pembagian kekuasaan serta hubungan-hubungan kekuasaan dalam setiap negara kecil itu. Di dalam negara-negara yang mendasarkan dirinya atas demokrasi konstitusionil, undang-undang dasar mempunyai fungsi khas yaitu membatasi kekuasaan pemerintah sedemikian rupa sehingga penyelenggaraan kekuasaan tidak bersifat sewenang-wenang. Dengan demikian diharapkan hak-hak warga negara akan lebih terlindungi. Gagasan ini dinamakan Konstitusionalisme. Menurut Carl J. Friedrich dalam buku Constitusional Goverment and Democracy, konstitusionalisme merupakan “gagasan bahwa pemerintahan merupakan suatu kumpulan kegiatan yang diselenggarakan oleh dan atas nama rakyat, tetapi yang dikenakan beberapa pembatasan yang diharapkan akan menjamin bahwa kekuasaan yang diperlukan untuk pemerintahan itu tidak disalahgunakan oleh mereka yang mendapat tugas untuk memerintah. Cara pembatasan yang paling efektif ialah dengan jalan pembagian kekuasaan. Menurutnya, dengan jalan membatasi kekuasaan, konstitusionalisme menyelenggarakan suatu sistem pembatasan yang efektif atas tindakan-tindakan pemerintah. Pembatasan-pembatasan ini tercermin dalam undang-undang dasar. Jadi, dalam anggapan ini undang-undang dasar mempunyai fungsi yang khusus dan merupakan perwujudan atau manifestasi dari hukum tertinggi yang harus ditaati, bukan hanya oleh rakyat, tetapi oleh pemerintah serta penguasa sekalipun. Bidang ketiga mengenai partai-partai, golongan-golongan dan pendapat umum, banyak memakai konsep-konsep sosiologis dan psikologis dan sering disebut political dymanics oleh karena sangat menonjolkan aspek-aspek dinamis dari proses-proses politik. Penelitian mengenai partai politik merupakan kegiatan ilmiah yang relatif baru. Sekalipun bermacam-macam penelitian telah diadakan untuk mempelajarinya, akan tetapi hingga sekarang belum tersusun suatu teori yang mantap mengenai partai sebagai lembaga politik. Istilah tentang lapangan studi ini pun masih belum ada, meskipun nama “statiologi“ kadang-kadang dipakai. Sarjana-sarjana yang telah mempelopori studi mengenai partai politik antara lain M. Ostrogorsky (1902), Robert Michels (1911), Maurice Duverger (1951) dan Sigmund Nueumann (1956). Selain itu beberapa sarjana behavioralis seperti Joseph Lapalombara dan Myron Weiner telah meneropong secara khusus partai politik dalam hubungannya dengan pembangunan politik dalam bukunya Political Parties and Political Development. Ditinjau dari hasil karya sarjana-sarjana ini memang nampak adanya usaha ke arah penyusunan suatu teori yang menyeluruh, akan tetapi usaha ini masih jauh dari sempurna dan jauh ketinggalan bila dibandingkan dengan penelitian di bidang-bidang ilmu politik lainnya. Partai politik pertama-tama lahir di negara-negara Eropa Barat. Dengan meluasnya gagasan bahwa rakyat merupakan faktor yang perlu diperhitungkan serta diikutsertakan dalam proses politik, maka partai politik telah secara spontan dan berkembang menjadi penghubung antara rakyat di satu pihak dan pemerintah di pihak lain. Partai politik pada umumnya dianggap sebagai manisfetasi dari suatu sistem politik yang sudah modern atau yang sedang dalam proses memodernisasikan diri. Maka dari itu, dewasa ini di negara-negara baru pun partai sudah menjadi lembaga politik yang biasa dijumpai. Di negara-negara yang menganut paham demokrasi, gagasan mengenai partisipasi rakyat mempunyai dasar ideologis bahwa rakyat berhak turut menentukan kebijaksanaan umum (public policy). Di negara-negara totaliter gagasan mengenai partisipasi rakyat didasari pandangan elite politiknya bahwa rakyat perlu dibimbing dan dibina untuk mencapai stabilitas yang langgeng. Untuk mencapai itu, partai politik merupakan alat yang baik. Secara umum dapat dikatakan bahwa partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik –(biasanya) denagn cara konstitusional – untuk melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan mereka. Kegiatan seseorang dalam partai politik merupakan suatu bentuk partisipasi politik. Partisipasi politik mencakup semua kegiatan sukarela melalui mana seseorang turut serta dalam proses pemilihan tak langsung – dalam pembentukan kebijaksanaan umum. Kegiatan –kegiatan ini mencakup kegiatan memilih dalam pemilihan umum; menjadi anggota golongan politik seperti partai, kelompok penekan, kelompok kepentingan; duduk dalam lembaga politik seperti dewan perwakilan rakyat atau mengadakan komunikasi dengan wakil-wakil rakyat yang duduk dalam badan itu; berkampanye dan menghadiri kelompok diskusi, dan sebagainya. (Kebalikan dari partisipasi adalah apati. Seseorang dinamakan apatis (secara politik) jika tidak ikut serta dalam kegiatan-kegiatan tersebut di atas. Partai politik berbeda dengan kelompok penekan (pressure group) atau istilah yang lebih banyak dipakai dewasa ini, kelompok kepentingan (interest group). Kelompok ini bertujuan memperjuangkan suatu “kepentingan“ dan mempengaruhi lembaga-lembaga politik agar mendapatkan keputusan-keputusan yang menguntungkan atau menghindari keputusan yang merugikan. Kelompok kepentingan tidak berusaha menempatkan wakil-wakilnya dalam dewan perwakilan rakyat, melainkan cukup mempengaruhi satu atau beberapa partai di dalamnya atau instansi pemerintah atau menteri yang berwenang. Teranglah bahwa kelompok kepentingan mempunyai orientasi yang jauh lebih sempit daripada partai politik, yang –karena mewakili pelbagai golongan- lebih banyak memperjuangkan kepentingan umum. Pun organisasi kelompok kepentingan lebih kendor dibanding partai politik. Kelompok – kelompok kepentingan berbeda-beda antara lain dalam hal struktur, gaya, sumber pembiayaan, dan basis dukungannya; dan perbedaan-perbedaan ini sangat mempengaruhi kehidupan politik, ekonomi dan sosial suatu bangsa. Walaupun kelompok-kelompok kepentingan juga diorganisir berdasarkan keanggotaan, kesukuan, ras, etnis, agama atau pun berdasar isue-isue kebijaksanaan, kelompok-kelompok kepentingan yang paling kuat, paling besar, dan secara finansial paling mampu adalah kelompok yang berdasar pada bidang pekerjaan atau profesi, terutama karena kehidupan sehari-hari dan karier seseoranglah yang paling cepat dan paling langsung dipengaruhi oleh kebijaksanaan atau tindakan pemerintah. Kerana itu sebagian besar negara memiliki serikat buruh, himpunan pengusaha, kelompok petani dan persatuan-persatuan dokter, advokat, insinyur dan guru. Bidang keempat mengenai hubungan internasional. Bidang ini baru dikenal setelah berakhirnya Perang Dunia I, meskipun sebagai sasaran perhatian masalah, hubungan internasional hampir sama tuanya dengan pengkajian politik klasik. Semula, telaah tentang hubungan internasional dikaitkan dengan “hubungan antarnegara“ (inter-state relations) yang berpangkal dari Ilmu Hukum Internasional Publik. Sebagaimana halnya Ilmu politik lahir dari tradisi Ilmu Negara, maka ilmu hubungan internasional amat terpengaruh oleh pengkajian yuridis-formal yang berlaku sejak lahirnya Hukum Internasional Publik. Oleh sebab itu, dalam perkembangan setelah perang Dunia I, ketika di Eropa dan Amerika Serikat bangkit semangant idealisme agar bangsa-bangsa “beradab“ (Barat) tidak lagi terjerat dalam malapetaka peperangan, lahirlah usaha-usaha awal mengikhtiarkan dunia yang tertib dan damai. Dunia yang tertib dan damai. Dunia yanga tertib dan damai ini diharapkan dapat tercapai melalui pendekatan-pendekatan yuridis-formal. Lahirlah asumsi di kalangan negarawan seperti Presiden Woodrow Wilson, misalnya, tentang “hak penentuan nasib sendiri“ yang harus dihormati dan dipatuhi oleh negara-negara beradab yang terikat pada kesepakatan hukum. Pendekatan yuridis formal sampai sekarang masih kuat dipegang, terutama para lulusan yang mengalami pendidikan ilmu hukum sebagai jenjang pertamanya dalam pendidikan tinggi. Sikap bahwa dunia yang lebih baik, lebih tentram dan lebih terkendali hanya dapat disepakati melalui kepatuhan pada hukum, acap kali dikemukakan sebagai retorika pembenaran negara-negara kuat. Dalam pada itu, timbul pendekatan lain yang berpangkal pada asumsi bahwa kehidupan manusia (baik sebagai individu maupun sebagai anggota kelompok) senantiasa dipengaruhi oleh kaidah-kaidah yang bukan idealis. Pendekatan ini disebut pendekatan realis, karena memandang proses pelaksanaan hubungan antarbangsa (menurut mereka) lebih banyak ditandai oleh pertarungan kekuasaan, pengaruh dan ikhtiar mencari keunggulan. Oleh sebab itu, pendekatan realis lebih mengkaji pada faktor-faktor sosial, politik dan ekonomi yang terjadi di belakang atau yang melatarbelakangi kaidah-kaidah hukum yang tertuang dalam persetujuan atau perjanjian internasional. Hemat mereka, dibalik setiap rumusan hukum antarnegara atau antarbangsa, selalu ada yang “lebih unggul“ dalam kenyataan sosial-ekonomi-politiknya sekalipun berkedudukan “sama“ di mata hukum. Perkembangan penelitian ilmu politik sejak tahun 1950 menunjukkan betapa pesatnya perkembangan teknologi, ekonomi dan sosial telah mengakibatkan bertambahnya pengkhususan-pengkhususan. Hubungan dan politik luar negeri ada kecenderungan untuk berdiri sendiri dan di beberapa negara merupakan fakultas tersendiri. Suatu bidang yang akhir-akhir ini berkembang dan yang sangat penting bagi negara-negara berkembang adalah Pembangunan Politik (Political Development). Studi ini meneropong akibat dari pembangunan cepat di bidang sosial dan ekonomi atas tata masyarakat. Studi ini juga mempelajari peranan dari lembaga-lembaga politik dalam mempengaruhi perkembangan dan pembangunan ini. Masalah pembangunan politik erat hubungannya dengan negara-negara yang baru saja memerdekakan diri. Jadi, proses dekolonisasi dan proses mencapai kemerdekaan sangat relevan dalam studi ini. Masalah yang diteropong antara lain akibat dari perubahan sosial dan ekonomi atas lembaga-lembaga pemerintahan dan atas partisipasi politik; peranan golongan elite dan pola-pola kepemimpinan; peranan pendidikan sebagai sarana pembangunan, integrasi sosial dari golongan minoritas dan sebagainya. REFERENSI http://wazni.staff.unri.ac.id/ruang-lingkup-ilmu-politik/ Lihat Artikel Asli di http://tomat1610.blogspot.com

No comments:

Post a Comment

Berikan Komentar Anda Agar Menjadi Lebih Baik