Dalam
Perspektif Pemberantasan
Korupsi
di Indonesia
PENDAHULUAN
Korupsi
merupakan salah satu masalah terbesar yang dihadapi oleh bangsa Indonesia
sampai saat ini. Berbagai survei yang dilakukan oleh sejumlah lembaga internasional
selalu menempatkan Indonesia dalam urutan tertinggi dari negara yang paling
korup di dunia.1 Hasil ini tidak jauh berbeda setiap tahunnya,sehingga banyak
pihak yang berpendapat bahwa korupsi di Indonesia tetap dianggap sebagai
endemic, systemic dan widespread (Lubis, 2005). Apabila kita melihat dari
sejumlah kasus korupsi yang ada di Indonesia, kasus tindak pidana korupsi yang
ditangani oleh komisi pemberantasan korupsi (KPK) sebagian besar (77%) adalah
kasus tindak pidana korupsi yang terkait dengan pengadaan barang dan jasa
(Hardjowiyono, 2006). Artinya, dalam banyak hal korupsi yang terjadi di
Indonesia adalah korupsi birokrasi atau menurut Mahmood (2005) korupsi di pemerintahan
sipil. Korupsi yang seperti ini terjadi dalam semua tingkatan pemerintahan,
tidak hanya di pusat tetapi juga di daerah-daerah. Bahkan, sejak diberlakukannya
otonomi daerah berdasarkan UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
di tahun 2001 telah terjadi kecenderungan korupsi di Pemerintahan Daerah yang
semakin meningkat dengan tajam (Rinaldi, Purnomo, dan Damayanti, 2007). Terkait
dengan upaya pemberantasan korupsi yang telah dilakukan di Indonesia, dapat
dilihat bahwa upaya yang dilakukan masih cenderung parsial dan tidak memiliki
desain strategi yang jelas sehingga dalam banyak hal tidak mampu mengurangi secara
signi kan tingkat korupsi yang terjadi. Terdapat setidaknya dua kemungkinan
dari gagalnya suatu program anti-korupsi dalam mencapai tujuannya, yaitu akibat
kesalahan dalam mendesain program anti-korupsi yang tidak mempertimbangkan
semua faktor yang berpengaruh serta akibat diagnosa yang salah terhadap permasalahan
korupsi yang dihadapi (Mahmood, 2005). Sementara itu terkait dengan penyusunan
strategi anti-korupsi ini, Klitgaard (1998a; 1998b) berpendapat bahwa strategi
anti-korupsi juga harus diarahkan pada penguatan peran masyarakat dalam
mengawasi pemerintah serta penguatan akuntabilitas publik. Pentingnya peran
partisipasi masyarakat dan akuntabilitas publik dalam pemberantasan korupsi ini
ternyata belum begitu mendapat perhatian dan dikaji secara mendalam di
Indonesia. Hal ini dapat dilihat, misalnya dari kesulitan yang penulis dapatkan
dalam upaya pencarian dan penggalian informasi mengenai kedua hal tersebut.
Namun demikian, terdapat pernyataan dari sejumlah pihak yang menegaskan mengenai
pentingnya peran masyarakat dan akuntabilitas publik dalam upaya pemberantasan korupsi
di Indonesia.2 Minimnya perhatian dan kajian terhadap peran partisipasi
masyarakat maupun akuntabilitas public dalam upaya pemberantasan korupsi telah
memberikan dampak terhadap kualitas yang tidak memadai dari partisipasi
masyarakat itu sendiri. Hal ini dapat dilihat misalnya dari laporan pengaduan
masyarakat sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2000
yang diterima oleh KPK yang sebagian besar diantaranya tidak mengindikasikan
adanya suatu tindak pidana korupsi. Berdasarkan buku laporan tahunan KPK tahun
2007 diperoleh informasi bahwa pada tahun 2005, 2006, dan 2007 telah diterima laporan
pengaduan masyarakat dari seluruh Indonesia masing-masing sejumlah 7.361;
6.938; dan 6.510. Namun demikian, pengaduan masyarakat yang mengindikasikan
terjadinya tindak pidana korupsi untuk tahun 2005, 2006, dan 2007 tersebut
masing - masing hanya berjumlah 2.466 (33,5%); 1.628 (23,4%); dan 1.229
(18,8%). Aturan dalam PP Nomor 71 Tahun 2000 sendiri hanya mengatur mengenai
tata cara pelaporan oleh masyarakat ke KPK terhadap suatu tindak pidana
korupsi, padahal, untuk melakukan itu diperlukan upaya penguatan masyarakat
sehingga masyarakat bisa berpartisipasi secara lebih baik dan dapat
menghasilkan laporan yang berkualitas. Sementara itu, terkait akuntabilitas
publik, kita dapat menemukan adanya aturan mengenai Laporan Akuntabilitas dan
Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP), sebagaimana diatur dalam Instruksi
Presiden (Inpres) Nomor 7 Tahun 1999 serta Keputusan Kepala Lembaga Administrasi
Negara (LAN) Nomor 589/IX/6/Y/99 juncto Keputusan Kepala LAN Nomor
239/IX/6/8/2003. Namun demikian, mekanisme akuntabilitas sebagaimana diatur
oleh sejumlah peraturan tersebut belum memenuhi kriteria akuntabilitas publik
sebagaimana dimaksud oleh sejumlah pakar seperti Dubnick, Romzek,dan Ingraham,
Fesler dan Kettl, serta Shafritz (Callahan, 2007). Mekanisme akuntabilitas yang
diatur dalam LAKIP hanya ditujukan secara internal kepada atasan saja serta
hanya mengukur sejauh mana target yang sudah ditetapkan telah tercapai dalam rangka
pelaksanaan misi organisasi. Akuntabilitas publik yang seharusnya dibangun
dalam pandangan para pakar sebagaimana dikutip oleh Callahan (2007) adalah
akuntabilitas publik yang tidak hanya ditujukan secara internal (pemerintah
atasan saja), tetapi juga ditujukan kepada para pemangku kepentingan lainnya seperti
masyarakat. Selain itu, mekanisme akuntabilitas publik juga tidak hanya
ditujukan untuk mengukur kinerja, tetapi juga dapat memantau perilaku dari
pejabat publik agar sesuai dengan etika dan aturan hukum yang berlaku. Minimnya
kajian yang mendalam terhadap permasalahan akuntabilitas publik pada akhirnya
telah menyebabkan pemahaman yang berbeda mengenai akuntabilitas publik serta ketidakmampuan
dari sistem akuntabilitas publik yang ada untuk dapat mencegah terjadinya
tindak pidana korupsi di instansi pemerintahan baik di pusat maupun daerah. Berangkat
dari latar belakang tersebut, maka tulisan ini akan berusaha untuk memberikan
gambaran mengenai pentingnya akuntabilitas publik dan partisipasi masyarakat
sebagai salah satu instrumen dalam pemberantasan korupsi di pemerintahan dari
berbagai perspektif teori yang ada.
A.
Visi
dan Misi Pemberantasan Korupsi
Korupsi sudah sedemikian akut, sistemik dan meluas
sehingga merugikan negara dan perekonomian negara. Korupsi menggerogoti tatanan
moral, hukum, dan ekonomi. Korupsi menegasikan (mengingkari) hak-hak sosial dan
ekonomi masyarakat, menggerogoti demokrasi, dan memundurkan pembangunan. Karena
parahnya korupsi, maka kerja memerangi tindak pidana korupsi harus menjadi
urusan setiap orang (masyarakat). Kerjasama antara Pemerintah, masyarakat sipil
dan dunia usaha menjadi sangat signifikan untuk dilakukan dalam menanggulangi
dan memberantas korupsi. Peran masyarakat berpengaruh banyak untuk
menghilangkan resistensi dari pihak-pihak di dalam masyarakat yang masih
menginginkan status quo. karenanya mobilisasi masyarakat guna memberantas
korupsi menjadi penting juga untuk dilakukan.
VISI
Pencegahan
dan pemberantasan tindak pidana korupsi yang melibatkan seluruh elemen
masyarakat agar tercipta kehidupan berbangsa dan bernegara yang bebas dari
korupsi, kolusi dan nepotisme, dan berkeadilan sosial.
MISI
a. Mendorong
partisipasi publik dalam penanggulangan dan pemberantasan korupsi, utamanya
dalam upaya penegakan hukum yang tegas terhadap para koruptor.
b. Mendorong
terciptanya aparat penegak hukum yang jujur dan bermoral dalam menjamin
terwujudnya penegakan supremasi hukum berdasarkan keadilan, kebenaran dan
kepastian hukum.
B.
Latar
Belakang
Transparency International, sebuah organisasi
non-pemerintah yang banyak berusaha untuk mendorong pemberantasan korupsi,
menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara paling korup di dunia dengan
nilai Indeks Persepsi Korupsi (IPK) tahun 2005 adalah 2,2 (nilai nol sangat
korup dan nilai 10 sangat bersih) yaitu jatuh pada urutan
ke-137 dari 159 negara yang disurvei. IPK merupakan hasil survei tahunan yang
mencerminkan persepsi masyarakat internasional maupun nasional (mayoritas pengusaha) terhadap tingkat korupsi di suatu negara. Tingkat korupsi tersebut terutama dikaitkan dengan urusan ijin-ijin usaha, pajak, pengadaan barang dan jasa pemerintah, beacukai, pungutan liar dan proses pembayaran termin-termin proyek. Sebagai penegasan bahwa Indonesia adalah salah satu negara terkorup di dunia adalah hasil survei yang dilakukan The Political and Economic Risk Consultancy Ltd (PERC) pada tahun 2005 terhadap 900 ekspatriat di Asia sebagai responden, dimana Indonesia menduduki peringkat pertama sebagai negara terkorup se-Asia.
ke-137 dari 159 negara yang disurvei. IPK merupakan hasil survei tahunan yang
mencerminkan persepsi masyarakat internasional maupun nasional (mayoritas pengusaha) terhadap tingkat korupsi di suatu negara. Tingkat korupsi tersebut terutama dikaitkan dengan urusan ijin-ijin usaha, pajak, pengadaan barang dan jasa pemerintah, beacukai, pungutan liar dan proses pembayaran termin-termin proyek. Sebagai penegasan bahwa Indonesia adalah salah satu negara terkorup di dunia adalah hasil survei yang dilakukan The Political and Economic Risk Consultancy Ltd (PERC) pada tahun 2005 terhadap 900 ekspatriat di Asia sebagai responden, dimana Indonesia menduduki peringkat pertama sebagai negara terkorup se-Asia.
Tabel 1 – Posisi negara berdasarkan Indeks Persepsi
Korupsi
Posisi Negara Berdasrkan IPK
No
|
Nama Negara
|
IPK
|
1
|
Islandia
|
9,7
|
2
|
Finlandia
|
9,6
|
3
|
Selandia Baru
|
9,6
|
4
|
Denmark
|
9,5
|
5
|
Singapura
|
9,4
|
6
|
Swiss
|
9,2
|
7
|
Norwegia
|
9,1
|
8
|
Australia
|
8,9
|
9
|
Austria
|
8,8
|
10
|
Indonesia
|
2,2
|
Pengadaan barang dan jasa Pemerintah merupakan bagian yang paling banyak dijangkiti korupsi, kolusi dan nepotisme. Penyakit ini sangat merugikan keuangan negara, sekaligus dapat berakibat menurunnya kualitas pelayanan publik dan berkurangnya jumlah pelayanan yang seharusnya diberikan pemerintah kepada masyarakat. Tidak heran kalau begawan ekonomi, Prof. Sumitro Djojohadikusumo, mengidentifikasi adanya kebocoran 30 – 50 % pada dana pengadaan barang dan jasa pemerintah. Demikian juga hasil kajian Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia yang tertuang dalam ”Country Procurement Assesment Report (CPAR)” tahun 2001 menyebutkan kebocoran dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah sebesar 10 hingga 50 persen. Merupakan jumlah yang besar karena alokasi anggaran pengadaan barang dan jasa pemerintah pada tahun 2001 adalah senilai Rp 67,229 triliun. Indikasi kebocoran dapat dilihat dari banyaknya proyek pemerintah yang tidak tepat waktu, tidak tepat sasaran, tidak tepat kualitas, dan tidak efisien. Akibatnya banyaknya alat yang dibeli tidak bisa dipakai, ambruknya bangunan gedung dan pendeknya umur konstruksi jalan raya karena banyak proyek pemerintah yang masa pakainya hanya mencapai 30-40 persen dari seharusnya akibat tidak sesuai atau lebih rendah dengan ketentuan dalam spesifikasi teknis. President Bank Dunia, Paul Wolkofitz, dalam kunjungan kerja ke KPK pada tanggal 12 April 2006 menyatakan bahwa banyak bantuan Bank Dunia untuk proyek infrastruktur menjadi bangunan konstruksi biaya tinggi dengan kebocoran besar dan penyimpangan prosedur, norma dan standar teknik sehingga menghasilkan bangunan konstruksi berkualitas rendah. Akibatnya pembangunan jalan raya bantuan Bank Dunia yang katanya untuk masa pakai 10 tahun, ternyata baru enam bulan telah terjadi kerusakan berat. Karena itu Bank Dunia mendorong dibentuknya Independent Monitoring Unit untuk mengawasi proyek-proyek infrastruktur dimana para auditor akan diberi pengetahuan forensic auditing selain kemampuan financial auditing, agar bisa mengungkap penyimpangan dari segi kualitas dan spesifikasi teknik. Kegagalan Indonesia membangun infrastruktur yang kuat dan pembangunan konstruksi yang bermartabat disebabkan melemahnya profesionalitas, terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat yang berlatar belakang Korupsi, Kolusi dan Nepotisme yang berakibat rendahnya daya saing global. Kami di KPK memiliki angka-angka yang cukup signifikan berkaitan dengan tindak pidana korupsi dalam pengadaan barang dan jasa. Dari 33 kasus atau perkara yang ditangani KPK tahun 2005, 24 kasus atau 77% merupakan kasus tindak pidana korupsi yang berhubungan dengan pengadaan barang dan jasa pemerintah, baik di tingkat Pemerintah Pusat maupun di tingkat Pemerintah Daerah. Bentuk tindak korupsi yang ditemukan dalam patologi pengadaan barang dan jasa, yaitu meliputi mark-up harga, perbuatan curang, pemberian suap, penggelapan, pengadaan fiktif, pemberian komisi, pemerasan, penyalahgunaan wewenang, bisnis orang dalam, nepotisme dan pemalsuan. Modus operandi korupsi dalam proses pengadaan barang dan jasa terutama adalah mark-up dimana supplier bermain mematok harga tertinggi walaupun barangnya bukan lagi barang baru.
C.
Persekongkolan
Dan Korupsi Dalam Tender
Temuan
yang diperoleh KPPU bahwa persekongkolan dalam tender sudah terjadi semenjak
perencanaan pengadaan yaitu tahap awal dalam kegiatan pengadaan barang dan jasa
pemerintah. Perencanaan pengadaan mempersiapkan dan 11 mencantumkan secara
rinci mengenai target, lingkup kerja, SDM, waktu, mutu, biaya dan manfaat yang
akan menjadi acuan utama dalam pelaksanaan pengadaan barang dan jasa pemerintah
dalam bentuk paket pekerjaan yang dibiayai dari dana APBN/APBD maupun Bantuan
Luar Negeri. Persekongkolan bisa terjadi antara pelaku usaha dengan sesama
pelaku usaha (penyedia barang dan jasa pesaing) yaitu dengan menciptakan
persaingan semu diantara peserta tender. Ini lebih dikenal dengan tender arisan
dimana pemenangnya sudah ditentukan terlebih dahulu. Persekongkolan juga dapat
terjadi antara satu atau beberapa pelaku usaha dengan panitia tender atau panitia
lelang misalnya rencana pengadaan yang diarahkan untuk pelaku usaha tertentu
dengan menentukan persyaratan kualifikasi dan spesifikasi teknis yang mengarah
pada sutu merk sehingga menghambat pelaku usaha lain untuk ikut tender. Akibatnya
kompetisi untuk memperoleh penawaran harga yang paling menguntungkan tidak
terjadi. Pemaketan pengadaan yang seharusnya dilaksanakan dengan mempertimbangkan
aspek efisiensi dan efektifitas, namun pada prakteknya banyak yang direkayasa
untuk kepentingan KKN. Rangkaian aturan perundang-undangan tentang korupsi
diatas menunjukkan bahwa telah terjadi perkembangan yang pesat dari praktek-praktek
korupsi. Peraturan perundangan yang terus berubah agar tetap dapat
mengakomodasi metoda dan cara pemberantasan korupsi. Namun aparat penegak hukum
menunjukkan kinerja yang buruk. Ketidakpercayaan masyarakat kepada aparat
penegak hukum makin surut. Dan banyak lembaga atau badan antikorupsi yang sudah
dibentuk gagal memberantas korupsi. KPK dibentuk tidak untuk mengulangi
kegagalan pemberantasan korupsi di masa lalu.Beberapa hal dalam UU No. 31 Tahun
1999 & UU N0. 20 Tahun 2001.
Lihat Artikel Asli di http://tomat1610.blogspot.com
No comments:
Post a Comment
Berikan Komentar Anda Agar Menjadi Lebih Baik