Friday 24 January 2014

Akuntabilitas Pemerintahan

Dalam Perspektif Pemberantasan
Korupsi di Indonesia

PENDAHULUAN
Korupsi merupakan salah satu masalah terbesar yang dihadapi oleh bangsa Indonesia sampai saat ini. Berbagai survei yang dilakukan oleh sejumlah lembaga internasional selalu menempatkan Indonesia dalam urutan tertinggi dari negara yang paling korup di dunia.1 Hasil ini tidak jauh berbeda setiap tahunnya,sehingga banyak pihak yang berpendapat bahwa korupsi di Indonesia tetap dianggap sebagai endemic, systemic dan widespread (Lubis, 2005). Apabila kita melihat dari sejumlah kasus korupsi yang ada di Indonesia, kasus tindak pidana korupsi yang ditangani oleh komisi pemberantasan korupsi (KPK) sebagian besar (77%) adalah kasus tindak pidana korupsi yang terkait dengan pengadaan barang dan jasa (Hardjowiyono, 2006). Artinya, dalam banyak hal korupsi yang terjadi di Indonesia adalah korupsi birokrasi atau menurut Mahmood (2005) korupsi di pemerintahan sipil. Korupsi yang seperti ini terjadi dalam semua tingkatan pemerintahan, tidak hanya di pusat tetapi juga di daerah-daerah. Bahkan, sejak diberlakukannya otonomi daerah berdasarkan UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah di tahun 2001 telah terjadi kecenderungan korupsi di Pemerintahan Daerah yang semakin meningkat dengan tajam (Rinaldi, Purnomo, dan Damayanti, 2007). Terkait dengan upaya pemberantasan korupsi yang telah dilakukan di Indonesia, dapat dilihat bahwa upaya yang dilakukan masih cenderung parsial dan tidak memiliki desain strategi yang jelas sehingga dalam banyak hal tidak mampu mengurangi secara signi kan tingkat korupsi yang terjadi. Terdapat setidaknya dua kemungkinan dari gagalnya suatu program anti-korupsi dalam mencapai tujuannya, yaitu akibat kesalahan dalam mendesain program anti-korupsi yang tidak mempertimbangkan semua faktor yang berpengaruh serta akibat diagnosa yang salah terhadap permasalahan korupsi yang dihadapi (Mahmood, 2005). Sementara itu terkait dengan penyusunan strategi anti-korupsi ini, Klitgaard (1998a; 1998b) berpendapat bahwa strategi anti-korupsi juga harus diarahkan pada penguatan peran masyarakat dalam mengawasi pemerintah serta penguatan akuntabilitas publik. Pentingnya peran partisipasi masyarakat dan akuntabilitas publik dalam pemberantasan korupsi ini ternyata belum begitu mendapat perhatian dan dikaji secara mendalam di Indonesia. Hal ini dapat dilihat, misalnya dari kesulitan yang penulis dapatkan dalam upaya pencarian dan penggalian informasi mengenai kedua hal tersebut. Namun demikian, terdapat pernyataan dari sejumlah pihak yang menegaskan mengenai pentingnya peran masyarakat dan akuntabilitas publik dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.2 Minimnya perhatian dan kajian terhadap peran partisipasi masyarakat maupun akuntabilitas public dalam upaya pemberantasan korupsi telah memberikan dampak terhadap kualitas yang tidak memadai dari partisipasi masyarakat itu sendiri. Hal ini dapat dilihat misalnya dari laporan pengaduan masyarakat sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2000 yang diterima oleh KPK yang sebagian besar diantaranya tidak mengindikasikan adanya suatu tindak pidana korupsi. Berdasarkan buku laporan tahunan KPK tahun 2007 diperoleh informasi bahwa pada tahun 2005, 2006, dan 2007 telah diterima laporan pengaduan masyarakat dari seluruh Indonesia masing-masing sejumlah 7.361; 6.938; dan 6.510. Namun demikian, pengaduan masyarakat yang mengindikasikan terjadinya tindak pidana korupsi untuk tahun 2005, 2006, dan 2007 tersebut masing - masing hanya berjumlah 2.466 (33,5%); 1.628 (23,4%); dan 1.229 (18,8%). Aturan dalam PP Nomor 71 Tahun 2000 sendiri hanya mengatur mengenai tata cara pelaporan oleh masyarakat ke KPK terhadap suatu tindak pidana korupsi, padahal, untuk melakukan itu diperlukan upaya penguatan masyarakat sehingga masyarakat bisa berpartisipasi secara lebih baik dan dapat menghasilkan laporan yang berkualitas. Sementara itu, terkait akuntabilitas publik, kita dapat menemukan adanya aturan mengenai Laporan Akuntabilitas dan Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP), sebagaimana diatur dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 7 Tahun 1999 serta Keputusan Kepala Lembaga Administrasi Negara (LAN) Nomor 589/IX/6/Y/99 juncto Keputusan Kepala LAN Nomor 239/IX/6/8/2003. Namun demikian, mekanisme akuntabilitas sebagaimana diatur oleh sejumlah peraturan tersebut belum memenuhi kriteria akuntabilitas publik sebagaimana dimaksud oleh sejumlah pakar seperti Dubnick, Romzek,dan Ingraham, Fesler dan Kettl, serta Shafritz (Callahan, 2007). Mekanisme akuntabilitas yang diatur dalam LAKIP hanya ditujukan secara internal kepada atasan saja serta hanya mengukur sejauh mana target yang sudah ditetapkan telah tercapai dalam rangka pelaksanaan misi organisasi. Akuntabilitas publik yang seharusnya dibangun dalam pandangan para pakar sebagaimana dikutip oleh Callahan (2007) adalah akuntabilitas publik yang tidak hanya ditujukan secara internal (pemerintah atasan saja), tetapi juga ditujukan kepada para pemangku kepentingan lainnya seperti masyarakat. Selain itu, mekanisme akuntabilitas publik juga tidak hanya ditujukan untuk mengukur kinerja, tetapi juga dapat memantau perilaku dari pejabat publik agar sesuai dengan etika dan aturan hukum yang berlaku. Minimnya kajian yang mendalam terhadap permasalahan akuntabilitas publik pada akhirnya telah menyebabkan pemahaman yang berbeda mengenai akuntabilitas publik serta ketidakmampuan dari sistem akuntabilitas publik yang ada untuk dapat mencegah terjadinya tindak pidana korupsi di instansi pemerintahan baik di pusat maupun daerah. Berangkat dari latar belakang tersebut, maka tulisan ini akan berusaha untuk memberikan gambaran mengenai pentingnya akuntabilitas publik dan partisipasi masyarakat sebagai salah satu instrumen dalam pemberantasan korupsi di pemerintahan dari berbagai perspektif teori yang ada.


A.    Visi dan Misi Pemberantasan Korupsi
Korupsi sudah sedemikian akut, sistemik dan meluas sehingga merugikan negara dan perekonomian negara. Korupsi menggerogoti tatanan moral, hukum, dan ekonomi. Korupsi menegasikan (mengingkari) hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat, menggerogoti demokrasi, dan memundurkan pembangunan. Karena parahnya korupsi, maka kerja memerangi tindak pidana korupsi harus menjadi urusan setiap orang (masyarakat). Kerjasama antara Pemerintah, masyarakat sipil dan dunia usaha menjadi sangat signifikan untuk dilakukan dalam menanggulangi dan memberantas korupsi. Peran masyarakat berpengaruh banyak untuk menghilangkan resistensi dari pihak-pihak di dalam masyarakat yang masih menginginkan status quo. karenanya mobilisasi masyarakat guna memberantas korupsi menjadi penting juga untuk dilakukan.

VISI
Pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi yang melibatkan seluruh elemen masyarakat agar tercipta kehidupan berbangsa dan bernegara yang bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme, dan berkeadilan sosial.

MISI
a.       Mendorong partisipasi publik dalam penanggulangan dan pemberantasan korupsi, utamanya dalam upaya penegakan hukum yang tegas terhadap para koruptor.
b.      Mendorong terciptanya aparat penegak hukum yang jujur dan bermoral dalam menjamin terwujudnya penegakan supremasi hukum berdasarkan keadilan, kebenaran dan kepastian hukum.


B.     Latar Belakang
Transparency International, sebuah organisasi non-pemerintah yang banyak berusaha untuk mendorong pemberantasan korupsi, menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara paling korup di dunia dengan nilai Indeks Persepsi Korupsi (IPK) tahun 2005 adalah 2,2 (nilai nol sangat korup dan nilai 10 sangat bersih) yaitu jatuh pada urutan
ke-137 dari 159 negara yang disurvei. IPK merupakan hasil survei tahunan yang
mencerminkan persepsi masyarakat internasional maupun nasional (mayoritas pengusaha) terhadap tingkat korupsi di suatu negara. Tingkat korupsi tersebut terutama dikaitkan dengan urusan ijin-ijin usaha, pajak, pengadaan barang dan jasa pemerintah, beacukai, pungutan liar dan proses pembayaran termin-termin proyek. Sebagai penegasan bahwa Indonesia adalah salah satu negara terkorup di dunia adalah hasil survei yang dilakukan The Political and Economic Risk Consultancy Ltd (PERC) pada tahun 2005 terhadap 900 ekspatriat di Asia sebagai responden, dimana Indonesia menduduki peringkat pertama sebagai negara terkorup se-Asia.
Tabel 1 – Posisi negara berdasarkan Indeks Persepsi Korupsi
*      Posisi Negara Berdasrkan IPK
No
Nama Negara
IPK
1
Islandia
9,7
2
Finlandia
9,6
3
Selandia Baru
9,6
4
Denmark
9,5
5
Singapura
9,4
6
Swiss
9,2
7
Norwegia
9,1
8
Australia
8,9
9
Austria
8,8
10
Indonesia
2,2

Pengadaan barang dan jasa Pemerintah merupakan bagian yang paling banyak dijangkiti korupsi, kolusi dan nepotisme. Penyakit ini sangat merugikan keuangan negara, sekaligus dapat berakibat menurunnya kualitas pelayanan publik dan berkurangnya jumlah pelayanan yang seharusnya diberikan pemerintah kepada masyarakat. Tidak heran kalau begawan ekonomi, Prof. Sumitro Djojohadikusumo, mengidentifikasi adanya kebocoran 30 – 50 % pada dana pengadaan barang dan jasa pemerintah. Demikian juga hasil kajian Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia yang tertuang dalam ”Country Procurement Assesment Report (CPAR)” tahun 2001 menyebutkan kebocoran dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah sebesar 10 hingga 50 persen. Merupakan jumlah yang besar karena alokasi anggaran pengadaan barang dan jasa pemerintah pada tahun 2001 adalah senilai Rp 67,229 triliun. Indikasi kebocoran dapat dilihat dari banyaknya proyek pemerintah yang tidak tepat waktu, tidak tepat sasaran, tidak tepat kualitas, dan tidak efisien. Akibatnya banyaknya alat yang dibeli tidak bisa dipakai, ambruknya bangunan gedung dan pendeknya umur konstruksi jalan raya karena banyak proyek pemerintah yang masa pakainya hanya mencapai 30-40 persen dari seharusnya akibat tidak sesuai atau lebih rendah dengan ketentuan dalam spesifikasi teknis. President Bank Dunia, Paul Wolkofitz, dalam kunjungan kerja ke KPK pada tanggal 12 April 2006 menyatakan bahwa banyak bantuan Bank Dunia untuk proyek infrastruktur menjadi bangunan konstruksi biaya tinggi dengan kebocoran besar dan penyimpangan prosedur, norma dan standar teknik sehingga menghasilkan bangunan konstruksi berkualitas rendah. Akibatnya pembangunan jalan raya bantuan Bank Dunia yang katanya untuk masa pakai 10 tahun, ternyata baru enam bulan telah terjadi kerusakan berat. Karena itu Bank Dunia mendorong dibentuknya Independent Monitoring Unit untuk mengawasi proyek-proyek infrastruktur dimana para auditor akan diberi pengetahuan forensic auditing selain kemampuan financial auditing, agar bisa mengungkap penyimpangan dari segi kualitas dan spesifikasi teknik. Kegagalan Indonesia membangun infrastruktur yang kuat dan pembangunan konstruksi yang bermartabat disebabkan melemahnya profesionalitas, terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat yang berlatar belakang Korupsi, Kolusi dan Nepotisme yang berakibat rendahnya daya saing global. Kami di KPK memiliki angka-angka yang cukup signifikan berkaitan dengan tindak pidana korupsi dalam pengadaan barang dan jasa. Dari 33 kasus atau perkara yang ditangani KPK tahun 2005, 24 kasus atau 77% merupakan kasus tindak pidana korupsi yang berhubungan dengan pengadaan barang dan jasa pemerintah, baik di tingkat Pemerintah Pusat maupun di tingkat Pemerintah Daerah. Bentuk tindak korupsi yang ditemukan dalam patologi pengadaan barang dan jasa, yaitu meliputi mark-up harga, perbuatan curang, pemberian suap, penggelapan, pengadaan fiktif, pemberian komisi, pemerasan, penyalahgunaan wewenang, bisnis orang dalam, nepotisme dan pemalsuan. Modus operandi korupsi dalam proses pengadaan barang dan jasa terutama adalah mark-up dimana supplier bermain mematok harga tertinggi walaupun barangnya bukan lagi barang baru.

C.    Persekongkolan Dan Korupsi Dalam Tender

Temuan yang diperoleh KPPU bahwa persekongkolan dalam tender sudah terjadi semenjak perencanaan pengadaan yaitu tahap awal dalam kegiatan pengadaan barang dan jasa pemerintah. Perencanaan pengadaan mempersiapkan dan 11 mencantumkan secara rinci mengenai target, lingkup kerja, SDM, waktu, mutu, biaya dan manfaat yang akan menjadi acuan utama dalam pelaksanaan pengadaan barang dan jasa pemerintah dalam bentuk paket pekerjaan yang dibiayai dari dana APBN/APBD maupun Bantuan Luar Negeri. Persekongkolan bisa terjadi antara pelaku usaha dengan sesama pelaku usaha (penyedia barang dan jasa pesaing) yaitu dengan menciptakan persaingan semu diantara peserta tender. Ini lebih dikenal dengan tender arisan dimana pemenangnya sudah ditentukan terlebih dahulu. Persekongkolan juga dapat terjadi antara satu atau beberapa pelaku usaha dengan panitia tender atau panitia lelang misalnya rencana pengadaan yang diarahkan untuk pelaku usaha tertentu dengan menentukan persyaratan kualifikasi dan spesifikasi teknis yang mengarah pada sutu merk sehingga menghambat pelaku usaha lain untuk ikut tender. Akibatnya kompetisi untuk memperoleh penawaran harga yang paling menguntungkan tidak terjadi. Pemaketan pengadaan yang seharusnya dilaksanakan dengan mempertimbangkan aspek efisiensi dan efektifitas, namun pada prakteknya banyak yang direkayasa untuk kepentingan KKN. Rangkaian aturan perundang-undangan tentang korupsi diatas menunjukkan bahwa telah terjadi perkembangan yang pesat dari praktek-praktek korupsi. Peraturan perundangan yang terus berubah agar tetap dapat mengakomodasi metoda dan cara pemberantasan korupsi. Namun aparat penegak hukum menunjukkan kinerja yang buruk. Ketidakpercayaan masyarakat kepada aparat penegak hukum makin surut. Dan banyak lembaga atau badan antikorupsi yang sudah dibentuk gagal memberantas korupsi. KPK dibentuk tidak untuk mengulangi kegagalan pemberantasan korupsi di masa lalu.Beberapa hal dalam UU No. 31 Tahun 1999 & UU N0. 20 Tahun 2001.
Lihat Artikel Asli di http://tomat1610.blogspot.com

No comments:

Post a Comment

Berikan Komentar Anda Agar Menjadi Lebih Baik